skip to Main Content
Kebun Kopi Gondosini Sumber Sejarah Kopi Wonogiri

Kebun Kopi Gondosini Sumber Sejarah Kopi Wonogiri

Berbicara tentang sejarah kopi di Wonogiri tentunya tidak terlepas dari perkembangan komoditas kopi Kadipaten Mangkunegaran dan kebun kopi kuno Gondosini. Wilayah ini menjadi sentra pembibitan kopi bagi Kadipaten Mangkunegaran yang telah dimulai sejak sebelum tahun 1814. Dalam perkembangannya, tanaman kopi juga turut menjadi salah satu tanaman wajib dalam sistem tanam paksa yang dimulai pada tahun 1830. Penanaman kopi di wilayah Kadipaten Mangkunegaran lebih banyak dilakukan pada wilayah tanah apanage atau tanah lungguh. Tanah apanage  merupakan tanah jabatan sementara yang digunakan sebagai bentuk upah atau gaji bagi kalangan priyayi maupun bangsawan.[1]

Tanah apanage  di wilayah Kadipaten Mangkunegaran umumnya disewakan kepada landhuurder (penyewa tanah) dari kalangan bangsa Eropa. Disamping itu, beberapa bangsawan maupun priyayi justru lebih memilih untuk mengolahnya sendiri guna mendapatkan hasil pangan dan tambahan bagi penyerahan pajak. Akan tetapi sejak Mangkunegaran IV berkuasa pada tahun 1853 – 1881, sistem penggunaan tanah apanage mengalami perubahan. Penyelesaian kontrak sewa tanah dengan pengusaha Eropa dan penarikan tanah apanage bangsawan di berbagai wilayah yang dianggap subur menjadi polemik tersendiri pada masa itu. Perubahan kebijakan ini dilatarbelakangi oleh beban hutang yang diwariskan oleh pemerintahan Mangkunegara III kepada Mangkunegara IV sebesar 100.000 gulden dengan bunga 6% per tahun. [2] Dengan pertimbangan tersebut,  Mangkunegara IV akhirnya berinisiatif untuk melakukan pembaharuan sistem tanah apanage di wilayah Kadipaten Mangkunegaran guna membayar hutang dan perbaikan sistem ekonomi kerajaan pada awal masa pemerintahan.

Sebagai tindak lanjut dari keputusan terkait, Mangkunegara IV kemudian melakukan penarikan tanah apanage dari para penyewa maupun bangsawan yang telah habis masa berlakunya. Hasil dari penarikan tanah apanage kemudian dimanfaatkan menjadi tanah perkebunan bagi upaya pembudidayaan tanaman dagang seperti kopi, tembakau, tebu, indigo, dan kina. Pemilihan tanaman ini didasarkan atas pertimbangan kesuburan pada masing-masing wilayah dan harganya yang masih cukup tinggi pada pasaran Eropa. Akan tetapi, hanya kopi dan tebu yang pada akhirnya memberi hasil panen yang melimpah. Sehingga dalam keberlanjutannya, wilayah dataran tinggi seperti Tawangmangu dan Wonogiri menjadi fokus penanaman bagi perkebunan kopi (bumi pakopen) sedangkan pada wilayah dataran rendah menjadi  kawasan bagi perkebunan tebu (bumi patebon).

Tentang Kebun Kopi Kuno Gondosini

Kebun Kopi Kuno Gondosini di wilayah Bulukerto merupakan salah satu pusat pembibitan utama yang dipilih oleh Kadipaten Mangkunegaran. Lokasinya yang berada di lereng Gunung Lawu dianggap cocok sebagai daerah pembibitan berbagai jenis kopi. Pada saat itu, pemilihan kopi sebagai tanaman perkebunan di daerah Wonogiri dilakukan atas dasar pengalaman Mangkunegara IV yang telah lebih dulu berhasil mengembangkan tanaman kopi pada tanah lungguh-nya yang terletak di wilayah Baturetno[3]. Keseriusan Mangkunegara IV dalam mengelola kopi dibuktikan dengan mendatangkan seorang administratur kopi dari Eropa bernama Rudolf Kampff. Hal ini dimaksudkan untuk mengorganisir proses penanaman kopi dalam wilayah Kadipaten Mangkunegaran yang kebanyakan belum memahami standar pengolahan kopi secara baik.

Pak Sular memeriksa salah satu pohon kopinya di Gondisini.
Pak Sular memeriksa salah satu pohon kopinya di Gondisini.

Hingga tahun 1850-an, perkembangan wilayah penanaman kopi mengalami perluasan. Panewu Kopi dan Mantri Kopi menjadi sebuah jabatan baru yang dibentuk seiring dengan banyaknya pembebasan tanah apanage dari penyewa Eropa maupun bangsawan. Wilayah penanaman kopi yang awalnya hanya terdapat dalam empat daerah lambat laun meluas hingga menjadi 24 administratur kopi. Adapun pengelolaan 24 administratur kopi tersebut dibawahi oleh dua orang penilik atau inspektur Eropa yaitu L.J Jeanty dan J.B. Voegel. Kedua penilik kopi ini berkedudukan di wilayah Tawangmangu dan Nguntoronadi. [4] J.B. Voegel membawahi wilayah sisi timur hingga tenggara Kadipaten Mangkunegaran seperti Karangpandan, Tawangmangu, Jumapolo, Jumapuro, Jatipuro, Ngadirojo, Sidoarjo, Girimarto, Jatisrono, Slogohimo, Bulukerto, dan Purwantoro. Sementara L.J. Jeanty membawahi wilayah bagian selatan seperti Nguntoronadi, Wuryantoro, Eromoko, Pracimantoro, Giritontro, Baturetno, Batuwarno, Selogiri, Singosari, dan Ngawen. Sejak dimulainya kebijakan penanaman kopi, pada tahun 1867 jumlah tanaman kopi di Mangkunegaran mencapai 6.056.203 pohon dengan wilayah pembudidayaan utama terletak di Malangjiwan, Wonogiri, dan Tawangmangu. Di beberapa daerah juga dibangun pabrik pengolahan kopi, salah satunya berlokasi di Desa Kasihan, Kecamatan Ngadirojo, yang sampai saat ini masih ada sisa bangunan pabrik tersebut.

Bangunan sisa pabrik kopi di Desa Kasihan, Kecamatan Ngadirojo.

Kebun Kopi Kuno Gondosini di Bulukerto termasuk ke dalam salah satu daerah dari 24 administratur kopi yang berhasil dikembangkan oleh Mangkunegara IV. Gondosini banyak berperan sebagai pusat pembibitan bagi tanaman kopi di wilayah lereng Gunung Lawu. Pada masa penanaman awal hingga perluasan wilayah penanaman ke daerah lain. Gondosini muncul sebagai wilayah pemasok bagi jenis bibit Java coffee dan Liberia coffee. Kedua bibit kopi ini kemudian didistribusikan ke berbagai wilayah perkebunan kopi (bumi bakopen) milik Kadipaten Mangkunegaran. Selain pada tanah apanage, kewajiban penanaman kopi juga turut dilaksanakan oleh para petani yang mempunyai tanah sanggan (sawah atau tegalan). Sebagai contoh, pada wilayah Gemawang, Kaduwang, dan Honggobayan, setiap petani diwajibkan untuk menanam 500 pohon kopi dan 500 pohon dhadhap sebagai tanaman pendamping. Sedangkan bagi petani yang tidak memiliki tanah sanggan, tetap diwajibkan untuk menanam kopi dengan jumlah separuh dari jumlah yang diwajibkan pada tanah yang disediakan pihak Mangkunegaran.

Pembagian wilayah tanam kopi

Perkembangan penanaman kopi tidak terbatas pada proses perluasan penanaman saja. Beberapa wilayah di sekitar 24 administratur kopi juga turut berkembang menjadi tempat bagi pengolahan kopi. Munculnya desa-desa kecil seperti Desa Pakopen, Tampaan, Sumber, Godang, Watu Kempul di wilayah Bulukerto menjadi bukti dari tumbuhnya berbagai lapangan pekerjaan baru yang dihasilkan oleh sistem penanaman kopi dibanding pada sistem penyewaan tanah.[5] Desa-desa ini berperan sebagai wilayah pendukung dalam lingkup pemanenan hasil kopi yang akan diserahkan kepada masing-masing penanggung jawab wilayah. Standarisasi dari teknis pemanenan ini merupakan bagian dari reorganisasi kopi yang diterapkan sejak masa tanam hingga masa panen. Langkah ini dilakukan guna mendapatkan kualitas kopi yang baik dan harga beli yang tinggi dari Pemerintah Hindia Belanda.

Dari keseluruhan proses penanaman tersebut, Kadipaten Mangkunegaran menghasilkan panen yang cukup signifikan. Kenaikan jumlah panen pada masa pemerintahan Mangkunegaran IV mencapai 5 kali lipat dibandingkan pada masa pemerintahan awal. Terhitung pada tahun 1852 hasil panen kopi Mangkunegaran menunjukkan angka 10.394 pikul per tahun sedangkan pada tahun 1880 hasil panen sudah mencapai 54.715 pikul[6].

Era kemunduran kopi di Wonogiri

Akan tetapi, sejak meninggalnya Mangkunegara IV pada 2 September 1881, perkembangan komoditi kopi mengalami kemunduran. Berbagai masalah muncul dalam masa pemerintahan Mangkunegara V sebagai penerus tahta dari Mangkunegara IV. Manajemen ekonomi yang buruk, sikap hidup kalangan istana yang boros dan konsumtif, penggelapan berton-ton kopi pada wilayah timur  oleh inspektur kopi J.B. Voegel, serta mewabahnya penyakit kopi pada perkebunan milik Kadipaten Mangkunegaran menjadi puncak dari krisis keuangan dan kemunduran pada masa itu. Pada tahun 1889, Mangkunegara V melakukan perombakan terhadap sistem perkebunan kopi yang telah dibangun sebelumnya oleh Mangkunegara IV. Pengurangan jumlah pegawai dalam administrasi perkopian dan pengurangan jumlah tanah bengkok di bumi pakopen menjadi awal bagi runtuhnya sistem perkebunan kopi. Selain itu, pemberian kembali tanah-tanah apanage  kepada putra sentana dan natapraja juga turut menjadi penanda dari pemberlakuan kembali sistem sewa tanah di wilayah Kadipaten Mangkunegaran.

Daun kopi yang terkena serangan penyakit karat daun.
Daun kopi yang terkena serangan penyakit karat daun. (foto dari google)

Dengan diberlakukannya kembali sistem sewa tanah dan wabah penyakit pada tanaman kopi, jumlah perkebunan kopi mengalami penyusutan. Beberapa wilayah seperti Gondosini dan Tawangmangu masih bertahan dalam menghasilkan kopi hingga kurun waktu 1960-an meskipun jumlah pasokan cenderung menurun drastis dikarenakan hanya beberapa wilayah bumi pakopen saja yang masih tersisa. Pada tahun 1970, penyakit kopi berupa karat daun (Hemileia Vastatrix) kembali mewabah pada tanaman kopi di wilayah Gondosini. Banyak petani kemudian mengganti tanaman kopi dengan menanam pohon cengkeh sebagai tanaman baru.


[1] Hasby Marwahid, “Apanage dan Bekel (Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830 – 1920), diakses dari  http://hasbymarwahid.blogspot.com/2011/05/apanage-dan-bekel-perubahan-sosial-di.html pada tanggal 3 Februari 2019 pukul 16.25

[2] Geheim besluit van den 8 Maart 1853 No. La Land tenure , RP/MN 1487

[3] S. Margana. Kapitalisme Pribumi dan Sistem Agraria Tradisional : Perkebunan Kopi di Mangkunegaran, 1853 – 1881. Lembaran Sejarah Vol.1, No.2, 1997/1998

[4] Ibid.

[5] Wawancara dengan Pak Sular (petani kopi di Desa Wisata Conto) terkait dengan sejarah kopi pada bulan Oktober 2018 di Desa Conto, Kecamatan Bulukerto

[6] Cultuur verslag der Residentie Soerakarta over het jaar 1863-1888, ANRI, III 10c-16c

Pranala Luar :

  1. https://puromangkunegaran.com/budidaya-kopi-mangkunegaran
  2. https://id.wikipedia.org/wiki/Praja_Mangkunegaran
  3. http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=2476/
This Post Has 3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top